Pages

Ads 468x60px

Labels

Makalah Istihsan

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat-Nya kita dilimpahkan taufiq dan hidayah, dan atas segala kemudahan yang telah diberikan kepada kita, sehingga penyusunan makalah ini dapat diselesaikan.
Shalawat beriringkan salam semoga abadi terlimpahkan kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga dan sahabat-sahabatnya, serta para pengikutnya. Semoga syafa’atnya selalu menyertai kehidupan ini. Amin!!
Setitik harapan dari penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki tidak terlalu bagus. Untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon rahmat dan ridho-Nya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb



                                                                                                MEDAN, Mei2013    
                                                                                                 Penulis


                                                                                               ( Siti Mardiah )

  

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................          i
DAFTAR ISI ...............................................................................          ii
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................          1
BAB II PEMBAHASAN ............................................................           2
A.  Istihsan .....................................................................................          2
1. Pengertian Istihsan .....................................................................           2
2. Dasar Hukum Istihsan ................................................................           2
3. Pembagian Istihsan dan Contoh Produk Hukumnya.............. ......           3
B. Maslahah Mursalah ...................................................................           5
1. Pengertian Maslahah Mursalah ............................................... ...           5
2. Syarat-syarat Maslahah Mursalah ...............................................          6
BAB III KESIMPULAN.............................................................          8
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................          9





BAB 1
 Pendahuluan

Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu instrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath  tetap berada pada koridor yang semestinya. Meskipun demikian, ada satu fakta yang tidak dapat dipungkiri bahwa penguasaan Ushul Fiqih tidaklah serta merta menjamin kesatuan hasil ijtihad dan istinbath para mujtahid. Disamping faktor eksternal Ushul Fiqih itu sendiri, seperti penentuan keshahihan suatu hadits misalnya, internal Ushul Fiqih sendiri pada sebagian masalahnya mengalami perdebatan (ikhtilaf) di kalangan para Ushuliyyin. Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah al-Adillah (sebagian ahli Ushul menyebutnya: al-Ushul al-Mukhtalaf fiha,atau “Dalil-dalil yang diperselisihkan penggunaannya” dalam penggalian dan penyimpulan hukum.
Mashadirul Ahkam (sumber-sumber hukum) ada yang disepakati ada yang tidak. Jelasnya, ada Mashadir Ashliyah (sumber pokok) yaitu: Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya dan ada Mashadir Thabi’iyah (sumber yang dipautkan kepada sumber-sumber pokok) yang disepakati oleh jumhur fuqaha yaitu: ijma dan qiyas. Adapula yang di ikhtilafi oleh tokoh-tokoh ahli ijtihad sendiri yaitu:Istihsan, istishab, Maslahah mursalah, Urf, Saddudzari’ah, dan madzhab sahabi.
Makalah ini akan menguraikan tentang hakikat Istihsan, Istishab, dan maslahah mursalah yang mencakup pengertian, macam-macamnya, kehujjahannya, kaidah-kaidahnya, dan contoh-contoh produk hukumnya.




BAB II
PEMBAHASAN
A.   Istihsan
1.Pengertian Istihsan
Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan.1 Adapun pengertian istihsan menurut istilah ushul fiqh, yaitu sebagai berikut:
1.        Menurut Al-Ghazali dalam kitabnya Al-mustasfa juz 1 : 137, “istihsan adalah semua hal yang dianggap baik oleh mujtahid menurut akalnya.2
2.        Al-Muwafiq Ibnu Qudamah Al-Hambali berkata, “istihsan adalah suatu keadilan terhadap hukum dan pandangannya karena adanya dalil yang tertentu dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.3
3.        Menurut Al-Hasan Al-Kurkhi Al-Hanafi, “istihsan adalah perbuatan adil terhadap permasalahan hukum dengan memandang hukum yang lain, karena adanya suatu yang lebih kuat yang membutuhkan keadilan.4
2.  Dasar Hukum Istihsan
            Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari al-Qur’an dan Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Az-Zumar: 18
Artinya : “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)


[1] Al-Syarahsi. “Ushul al-Syarahsi”. (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II. Th.1993), hal. 200
[2] Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih (Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991) hal.79
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, (Pustak Firdaus :Jakarta, 1999) hlm 402
[4] Ibid. hlm 401





Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah hujjah.
Hadits Nabi saw:
Artinya:“Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah buruk pula”.
Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.
Contoh istihsan: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan berdasar istihsan.
Menurut qiyas jali ialah qiyas yang illatnya dinyatakan secara jelas dalam Al-Qur’an dan sunnah.
Menurut qiyas khafi ialah qiyas yang illatnya diistinbatkan atau ditarik dari hukum asal.
3.  Pembagian Istihsan dan contoh produk hukumnya
Ulama Hanafiah membagi Istihsan kepada enam macam. Sebagaimana di jelaskan oleh al-Syatibi,5 yaitu:
Istihsan bil an-Nash (Istihsan berdasarkan ayat atau hadits). Yaitu penyimpangan suatu ketentuan hukum berdasarkan ketetapan qiyas kepada ketentuan hukum yang berlawanan dengan yang ditetapkan berdasarkan nash al-kitab dan sunnah. Contohnya yaitu : Masalah wasiat. Menurut ketentuan umum wasiat tidak boleh, karena sifat pemindahan hak milik kepada orang yang berwasiat tidak cakap lagi, yaitu setelah ia wafat.
Istihsan bi al-Ijma (istihsan yang didasarkan kepada ijma).yaitu meninggalkan keharusan menggunakan qiyas pada suatu persoalan karena ada ijma.6 Contohnya: Dalam kasus pemandian umum. Menurut kaidah umum, jasa pemandian umum itu harus jelas, yaitu harus berapa lamaseseorang harus mandidan berapa liter air yang dipakai. Akan tetapi apabila hal itu dilakukan maka akan menyulitkan bagi orang. Oleh sebab itu, para ulama sepakat menyatakan bahwa boleh menggunakan jasa pemandian umum sekalipun tanpa menentukan jumlah air dan lamanya waktu yang dipakai.
Istihsan bi al-Qiyas al-Khafi (Istihsan berdasarkan qiyas yang tersembunyi). Yaitu memalingkan suatu masalah dari ketentuan hukum qiyas yang jelas kepada ketentuan qiyas yang samar, tetapi keberadaannya lebih kuat dan lebih tepat untuk diamalkan.Contohnya : Dalam wakaf lahan pertanian, dalam qiyas jali wakaf ini sama dengan jual beli, karena pemilik lahan telah menggugurkan hak miliknya dengan memindah tangankan lahan tersebut.
Istihsan bi al-maslahah (istihsan berdasarkan kemaslahatan). Misalnya kebolehan dokter melihat aurat wanita dalam proses pengobatan. Menurut kaidah umum seseorang dilarang melihat aurat orang lain. Tapi, dalam keadaan tertentu seseorang harus membuka bajunya untuk di diagnosa penyakitnya. Maka, untuk kemaslahatanorang itu, maka menurut kaidah istihsan seorang dokter dibolehkan melihat aurat wanita yang berobat kepadanya.
Istihsan bi al-Urf  ( Istihsan berdasarkan adat kebiasaan yang berlaku umum). Yaitu penyimpangan hukum yang berlawanan dengan ketentuan qiyas, karena adanya Urf yang sudah dipraktikkan dan sudah dikenal dalam kehidupan masyarakat. Contohnya seperti menyewa wanita untuk menyusukan bayi dengan menjamin kebutuhan makan, minum dan pakaiannya.


[5] Abu Ishak Al-Syatibi, “al-Muwaffaqat Fi Ushul al-Syariah” (Beirut : Dar al-Makrifah, jilid IV, th. 1975) hal. 206-208
[6] Al-Syarahsi. “Ushul al-Syarahsi”. (Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, jilid II. Th.1993), hal. 200
[7] Ibid, hal. 74





Istihsan bi al-Dharurah (istihsan berdasarkan dharurah). Yaitu seorang mujtahid meninggalkan keharusan pemberlakuan qiyas atas sesuatu masalah karena berhadapan dengan kondisi dhorurat, dan mujtahid berpegang kepada ketentuan yang mengharuskan untuk memenuhi hajat atau menolak terjadinya kemudharatan. Misalnya dalam kasus sumur yang kemasukan najis. Menurut kaidah sumur tersebut sulit dibersihkan dengan mengeluarkan seluruh air dari sumur tersebut, karena sumur yang sumbernya dari mata air sulit dikeringkan.




B.  Maslahah Mursalah
1.      Pengertian Maslahah Mursalah
Dari segi bahasa, kata maslahah berarti manfa’at baik secara timbangan kata yaitu sebagai masdar, maupun secara makna dan Maslahah fi’il (kata kerja) yang mengandung ash-Shalah yang bermakna an-naf’u.
Dengan demikian, al-maslahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menetukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudhorotan atau menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-Maslahah al-Mursalah. Tujuan utama al-Maslahah al-Mursalah adalah kemashlahatan, yakni memelihara dari kemudhorotan dan menjaga kemanfaatannya.
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta`rif yang diberikan di antaranya: 
v  Imam Ar-Razi mendefinisikan mashlahah8 yaitu  perbuatan yang bermanfaat yang telah ditujukan oleh syari’ (Allah) kepada hamba-Nya demi memelihara dan menjaga agamanya, jiwanya, akalnya, keturunannya dan harta bendanya.
v  Imam Al-Ghazali9 mendefinisikan sebagai berikut: Maslahah pada dasarnya ialah meraih manfaat dan menolak mudarat.


8. Wahbah az-Zuhaily, Op.Cit, hal. 36-37.
9.  Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, hal. 104





Contoh Maslahah Wa Mursalah
            Para sahabat nabi bermufakat menetapkan had hukuman atas peminum khamar atau arak delapan puluh kali dera. Mereka menetapkan demikian itu berdasarkan atas Maslahah Mursalah, karena di zaman Nabi SAW tidak didapati penetapan hukuman atas peminum khamar.
2.      Syarat-syarat Maslahah Mursalah
Syarat-syarat maslahah mursalah yaitu:
v  Maslahah itu harus hakikat, bukan dugaan, mereka harus mempunyai disiplin ilmu tertentu memandang bahwa pembentukan hukum itu harus didasarkan pada maslahah hakikiyah yang dapat menarik manfaat untuk manusia dan dapat menolak bahaya dari mereka.
v  Maslahah harus bersifat umum dan menyeluruh, tidak khusus untuk orang tertentu dan tidak khusus untuk beberapa orang dalam jumlah sedikit.
v  Maslahah itu harus sejalan dengan tujuan hukum-hukum   yang dituju oleh syari`.Maslahah tersebut harus dari jenis maslahah yang telah didatangkan oleh Syari`. Seandainya tidak ada dalil tertentu yang  mengakuinya, maka maslahah tersebut  tidak  sejalan  dengan  apa yang telah dituju oleh Islam.
3.      Macam-macamMaslahah Mursalah
Maslahat segi tingkatan kepadaTiga bagian,10 yaitu:
a.  Maslahah dharuriyah (Primer).
Maslahah   dharuriyah   adalah   perkara – perkara   yang  menjadi  tempat  tegaknya kehidupan manusia,  yang   bila  ditinggalkan,  maka  rusaklah kehidupan   manusia, timbullah  fitnah,  dan  kehancuran  yang  hebat.
b.  Maslahah Hajjiyah (Sekunder).
Maslahah hajjiyah ialah, semua bentuk perbuatan dan tindakan yang tidak terkait  dengan dasar yang lain (yang ada pada maslahah dharuriyah) yang dibutuhkan oleh masyarakat tetap juga terwujud,  tetapi  dapat  menghindarkan kesulitan  dan  menghilangkan  kesempitan. Hajjiyah ini tidak rusak dan terancam, tetapi hanya menimbulkan kepicikan dan kesempitan, dan  hajjiyah  ini berlaku  dalam  lapangan  ibadah, adat, muamalat,  dan  dan  bidang  jinayat.
10. Wahbah az-Zuhaily, Op.cit, hal.
c. Maslahah Tahsiniah atau Kamaliyat ( Pelengkap / Tersier )
            Maslahah tahsiah ialah mempergunakan semua yang layak dan pantas yang dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik dan dicakup oleh bagian mahasinul akhlak. Tahsiniah juga masuk dalam lapangan ibadah, adat, muamalah,dan bidang uqubah. Lapangan ibadah misalnya kewajiban bersuci dari najis, menutup aurat, memakai pakaian yang baik-baik ketika akan sholat mendekatkan diri kepada allah melalui amalan-amalan sunnah. Lapangan adat seperti menjaga adat makan, minum, memilih makanan-makanan yang baik. Dalam lapangan muamalah misalnya larangan menjual benda-benda yang bernajis, tika memberikan sesuatu kepada orang lain melebihi dari kebutuhannya. Dalam lapangan uqubah misanya dilarang berbuat curang dalam timbangan ketika berjual beli, dalam peperangan tidak boleh membunuh wanita, anak-anak, pendeta, dan oarang-orang yang sudah lanjut usia.





                                     

BAB III
 KESIMPULAN

Istihsan adalah mengambil maslahah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat kully(menyeluruh) dengan mengutamakan al-istidlal al-mursal daripada qiyas. Dari Ta’rif di atas, jelas bahwa al-istihsan lebih mementingkan maslahah juz’iyyah atau maslahah tertentu dibandingkan dengan dalil kully atau dalil yang umum atau dalam kata lain sering dikatakan bahwa al-istihsan adalah beralih dari satu qiyas ke qiyas yang lain yang dianggap lebih kuat dilihat dari tujuan syari’at diturunkan. Tegasnya, al-istihsan selalu melihat dampak sesuatu ketentuan hukum, jangan sampai membawa dampak merugikan tapi harus mendatangkan maslahah atau menghindari mudarat, namun bukan berarti istihsan adalah menetapkan hukum atas dasar ra’yu semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil yang lebih kuat yang kandungannya berbeda. Dalil kedua ini dapat berwujud ijma’, ‘urf  atau al-maslahah al-mursalah.
Al-maslahah al-mursalah adalah suatu kemaslahatan yang tidak mempunyai dasar dalil, tetapi juga tidak ada pembatalnya. Jika terdapat suatu kejadian yang tidak ada ketentuan syari’at dan tidak ada illat yang keluar dari syara’ yang menetukan kejelasan hukum kejadian tersebut, kemudian ditemukan sesuatu yang sesuai dengan hukum syara’, yakni suatu ketentuan yang berdasarkan pemeliharaan kemudhorotan atau menyatakan suatu manfaat, maka kejadian tersebut dinamakan al-Maslahah al-Mursalah. Tujuan utama al-Maslahah al-Mursalah adalah kemashlahatan, yakni memelihara dari kemudhorotan dan menjaga kemanfaatannya.
Sedangkan alasan yang dikatakan al-mursalah, karena syara’ memutlakkannya bahwa didalamnya tidak dapat kaidah syara’ yang menjadi penguatnya ataupun pembatalnya.






Daftar  Pustaka

Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul al-fikih ,Maktabah Al-Dakwah al-Islamiyah, cetakan VIII,thn 1991
Amir Syarifuddin, Ushul fiqh, (Jakarta: Logos, 2001
Hasbi as-Shiddieqy, Pokok-pokok pegangan Imam-Imam Mazhab Dalam Membina Hukum    Islam”. (Jakarta: Bulan Bintang, jilid I, cet 1, 1997
Jalal al-Din Abd al-Rahman al-Suyuthi, “al-Asybah wa al-Nazhair”,(Singapura: Sulaiman Mar’i, T.Th
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, Pustak Firdaus :Jakarta, 1999
Suratmaputra, Ahmad Munif, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali: Mashlahah-Mursalah dan Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002

Wahbah al-Zuhaili, “Ushul al-Fiqh al-Islami”, (Beirut: Dar al-Fikr, jilid II Th. 1986
Read MoreMakalah Istihsan

Makalah Istisqo'

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT. Karena dengan rahmat-Nya kita dilimpahkan taufiq dan hidayah, dan atas segala kemudahan yang telah diberikan kepada kita, sehingga penyusunan makalah Fiqh ini dapat diselesaikan.
Shalawat beriringkan salam semoga abadi terlimpahkan kepada baginda Rasulullah SAW, keluarga dan sahabat-sahabatnya, serta para pengikutnya. Semoga syafa’atnya selalu menyertai kehidupan ini. Amin!!
Setitik harapan dari penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat serta bisa menjadi wacana yang berguna. Penulis menyadari keterbatasan yang penulis miliki tidak terlalu bagus. Untuk itu, penulis mengharapkan dan menerima segala kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dan penyempurnaan makalah ini. Akhirnya hanya kepada Allah SWT, penulis memohon rahmat dan ridho-Nya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb


                                                                                                           
                                                                                          MEDAN,   Maret 2013    
                                                                                                      Penulis



                                                                                               ( Siti Mardiah )

                                                                                           


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...........................................................................         i
DAFTAR ISI .........................................................................................         ii
BAB I PENDAHULUAN ......................................................................        1
A.    Pengertian Istiqo’ ................................................................................         1
B.     Bentuk-bentuk Memohon Hujan .........................................................         1
C.     Beberapa Jenis Istiqo’ Kepada Allah ..................................................         2
D.    Hukum Sholat Istiqo’ ..........................................................................         2
E.     Tata Cara Istiqo ..................................................................................         2
F.      Waktu Pelaksanaan ............................................................................         3
G.    Hal yang Disunnahkan Sebelum Sholat .................................................        4
H.    Khutbah Istiqo’ ...................................................................................        4
I.       Do’a-do’a Istiqo’ ................................................................................        5

DAFTAR PUSTAKA .............................................................................       6



                                                                             BAB I
PENDAHULUAN
      A.    Pengertian Istisqa’
Istiqa’ artinya minta diturunkan hujan oleh Allah SWT untuk sejumlah negeri atau hamba-hanbaNya yang membutuhkan melalui shalat, berdo’a dan beristighfar ketika terjadi kemarau.1
Ibnu qudamah berkata: “shalat istiqha hukumnya sunnah muakkadah, ditetapkan oleh sunnah Rasulullah SAW dan Khulafa Ar Rasyidin.2

      B.     Bentuk-bentuk Memohon Hujan (istisqa’).
1.      Seorang imam shalat dua rakaat bersama makmum, waktunya kapan saja, kecuali waktu yang dilarang untuk shalat. Dengan mengeraskan bacaan, rakaat pertama membaca surat Al-’Ala dan yang kedua dengan surat Al-Ghasiyah Selesai shalat Imam berkhutbah di hadapan manusia kemudian berdo’a kepada Allah agar diturunkan hujan. Dan ini adalah cara yang paling sempurna dan lengkap.
2.      Ketika khutbah jum’at kemudian di akhir khutbah khatib berdo’a supaya diturunkan hujan, kemudian makmum mengamini do’anya. Sebagaiamana sabda Nabi saw, Dari Anas ra bahwasanya seorang laki-laki masuk masjid pada hari jum’at, sedangkan Rasulullah saw sedang berdiri berkhutbah, lalu laki-laki tadi berkata, “Wahai Rasulullah saw hartaku telah binasa, bekalku telah habis, maka berdo’alah kepada Allah agar menolong (menurunkan hujan) kepada kita, kemudian Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya dan berdo’a,
اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا اللَّهُمَّ أَغِثْنَا


1.        Lisanul Arab, 14/393
2.        Syarhul Mumthi’, 5/361




        C.    Beberapa Jenis Istisqa Kepada Allah
Memohon kepada Allah agar diturunkan hujan berdasarkan apa yang ditetapkan oleh syari’at, dapat dilakukan dengan beberapa cara :
       a)      Sholat istisqa secara berjama’ah ataupun sendirian.3
      b)      Imam sholat Jum’at memohon kepada Allah agar diturunkan hujan dalam khutbahnya. Para ulama ber-ijma’ bahwa hal ini disunnahkan senantiasa diamalkan oleh kaum muslimin sejak dahulu.4
      c)      Berdo’a setelah shalat atau berdo’a sendirian tanpa didahului shalat. Para ulama ber-ijma’ akan bolehnya hal ini.5
          D.      Hukum Sholat Istisqa
Sholat istisqa’ termasuk shalat sunnah yang sangat dianjurkan sekali (sunnah muakkadah), dimana Rasulullah SAW pun telah melaksanakannya dan beliau juga memberitahukannya kepada orang-orang agar ikut serta untuk pergi ketempat pelaksanaan sholat istisqa’.
Oleh karena itu apabila hujan sangat lama tidak turun dan tanah menjadi gersang, maka dianjurkan bagi kaum muslimin pergi ketanah lapang untuk melaksanakan sholat istisqa’ dua rakaat dipimpin seorang imam, memperbanyak do’a dan istighfar.
        E.     Tata Cara Istisqa’
Pergi ke tanah lapang kemudian shalat berjama’ah bersama orang-orang yang dipimpin seorang imam tanpa adzan dan iqomah akan tetapi hendaknya mengucapakan الصلاة جامعة. Kemudian shalat dua rakaat, jika imam berkenan maka ia dapat membaca takbir sebanyak tujuh kali pada rekaat pertama dan lima kali pada rakaat kedua seperti  pada shalat hari raya. Pada rakaat pertama imam Smembaca surat al-’Ala setelah ia membaca surat Al-Fatihah dengan suara yang nyaring, sedang pada rakaat yang kedua membaca surat al-Ghasiyah.


3.        Al Ihkam Syarh Ushulil Ahkam, Ibnul Qasim, 1/504
4.        Al Ihkam Syarh Ushulil Ahkam, Ibnul Qasim, 1/504
5.        Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, 6/439 , Al Inshaf 5/436, Al Mughni 3/348







Setelah selesai shalat hendaknya imam menghadap ke arah jama’ah kemudian ia berkhutbah di hadapan mereka dengan menghimbau mereka supaya banyak beristighfar, lalu imam berdoa yang diamini oleh jama’ah, lalu imam menghadap kiblat serta mengubah posisi selendangnya, sehingga bagian sebelah kanan berpindah ke bagian sebelah kiri, serta bagian sebelah kiri berpindah ke bagian sebelah kanan dan kemudian mengangkat tangannya, lalu orang-orangpun harus mengubah posisi selendang mereka sebagaimana yang dilakukan seorang imam. Selanjutnya mereka berdoa sesaat kemudian bubar. Sebagaimana sabda Nabi saw dari Abdullah bin Zaid ia berkata:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ خَرَجَ يَسْتَسْقِي قَالَ فَحَوَّلَ إِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ يَدْعُو ثُمَّ حَوَّلَ رِدَاءَهُ ثُمَّ صَلَّى لَنَا رَكْعَتَيْنِ جَهَرَ فِيهِمَا بِالْقِرَاءَةِ
            “Saya melihat Nabi saw tatkala pergi ke tanah lapang untuk shalat istisqa’ beliau palingkan punggungnya menghadap para sahabat dan kiblat sambil berdo’a, lalu beliau palingkan selendangnya, kemudian shalat dengan kami du’a rakaat dengan suara yang keras ketika membaca ayat.
      F.     Waktu Pelaksanaan
          Waktu pelaksanaan shalat istisqa’ sama seperti shalat hari raya, ini adalah pendapat Malikiyah, berdasarkan keterangan dari Aisyah, “Rasulullah saw pergi menunaikan shalat istisqa’ ketika tampak penghalang matahari.” Namun dalam hadits ini bukan membatasi bahwa waktu shalat istisqa’ itu hanya seperti keterangan dalam hadits, akan tetapi waktu pelaksanaan shalat istisqa’ dapat dikerjakan kapan saja, selain waktu yang dilarang untuk shalat. Karena shalat istisqa’ memiliki waktu yang panjang, namun yang lebih afdhal adalah dilaksanakan pada awal hari sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas, karena shalat istisqa’ menyerupai (hampir sama) dengan  shalat ‘ied tata cara dan tempatnya.
      G.    Hal yang Disunnahkan Sebelum Shalat
Disunnahkan kepada imam untuk mengumumkan pelaksanaan shalat istisqa’ beberapa hari sebelumnya, menghimbau orang-orang supaya bertaubat dari kemaksiatan dan menjauhkan diri dari kedzaliman. Juga menganjurkan mereka supaya berpuasa, bersedekah, meninggalkan permusuhan  dan memperbanyak amal kebaikan, karena kemaksiatan itu penyebab kemarau dan tidak diturunkannya hujan, sebagaimana ketaatan menjadi penyebab kebaikan dan keberkahan sehingga Allah swt akan menurunkan hujan dari langit.
      H.    Khutbah Istisqa’
Para ulama’ berbeda pendapat mengenai waktu khutbah pada shalat istisqa’, Sebagian ulama’ berpendapat dan ini adalah merupakan riwayat dari Imam Ahmad, bahwasanya Imam berkhutbah sebelum shalat istisqa’.
          Namun mayoritas ulama’ di antaranya adalah Malik, Syafi’I dan Muhammad bin Hasan dan ini juga riwayat dari Imam Ahmad bin Hambal dari jalur yang lain, bahwasanya khutbah istisqa’ dilaksanakan setelah shalatistisqa’  dan ini merupakan pendapat yang benar,  sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni berdasarkan perkataan dari Abu Hurairah di dalam hadits yang shahih,
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمًا يَسْتَسْقِي فَصَلَّى بِنَا رَكْعَتَيْنِ بِلَا أَذَانٍ وَلَا إِقَامَةٍ ثُمَّ خَطَبَنَا وَدَعَا اللَّهَ وَحَوَّلَ وَجْهَهُ نَحْوَ الْقِبْلَةِ رَافِعًا يَدَيْهِ ثُمَّ قَلَبَ رِدَاءَهُ فَجَعَلَ الْأَيْمَنَ عَلَى الْأَيْسَرِ وَالْأَيْسَرَ عَلَى الْأَيْمَنِ
          Dari Abu Hurairah ia berkata, “Rasulullah saw keluar pada waktu istisqa’ maka kemudian ia shalat bersama kami dua raka’at tanpa adzan dan iqamah kemudian berkhutbah pada kami dan berdo’a kepada Allah dan menghadapkan wajahnya ke arah kiblat dengan mengangkat tangannya kemudian membalik selendangnya dan menjadikan selendang sebelah kanan pada pundak yang kiri dan selendang sebelah kiri diletakkan di pundak yang kanan.” (HR. Ibnu Majah).
      I.  Do’a-do’aIstisqa’
          Di bawah ini akan kami sebutkan beberapa do’a di dalam istisqa’ yang sesuai dengan sunnah Rasulullah saw :
1. Sebagaimana hadits yang telah lalu ketika seorang laki-laki datang ke masjid dan Rasulullah saw sedang berkhutbah, kemudian ia minta supaya Rasulullah saw berdo’a sebanyak tiga kali.
اللهم أغثنا اللهم أغثنا اللهم أغثنا 
 “Ya Allah tolonglah kami, tolonglah kami, tolonglah kami”.
2. Sebagaimana sabda Nabi saw dari Ibnu Abbas
اللَّهُمَّ اسْقِنَا غَيْثًا مُغِيثًا مَرِيئًا طَبَقًا مَرِيعًا غَدَقًا عَاجِلًا غَيْرَ رَائِثٍ
“Ya Allah berilah kami hujan yang menolong, menyegarkan tubuh dan menyuburkan tanaman dan segera tanpa ditunda-tunda.”
3.    Dalam Shahih Bukhari disebutkan bahwasanya Nabi Saw ketika dalam istisqa’ beliau membaca
 اللهم اسقنا اللهم اسقنا اللهم اسقنا
 ”Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami, Ya Allah turunkanlah hujan kepada kami”.
Salah satu do’a dalam istisqa’ adalah sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari
اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلَا عَلَيْنَا اللَّهُمَّ عَلَى الْآكَامِ وَالْجِبَالِ وَالْآجَامِ وَالظِّرَابِ وَالْأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَرِ                        
“Ya Allah turunkanlah hujan disekitar kami, bukan pada kami. Ya Allah berilah hujan ke dataran tinggi, pegunungan, anak bukit, dan lembah serta di tempat tumbuhnya pepohonan.”



DAFTAR PUSTAKA
Al Ihkam Syarh Ushulil Ahkam, Ibnul Qasim
Syarh Shahih Muslim Lin Nawawi, Al Inshaf , Al Mughni
Rasjid, sulaiman. 2012. Fikih Islam. Sinar Baru Algesindo: Bandung





Read MoreMakalah Istisqo'
 

Flag Counter

Flag Counter

Sample Text

Sample Text