BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Ketika filsafat
Islam dibicarakan, maka terbayang disana hadir beberapa tokoh yang
disebut sebagai filosof muslim seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi,
Ibnu Rusyd, Al-Ghazali, dan seterusnya. Kehadiran para tokoh ini memang tidak
bisa dihindarkan, karena dari merekalah
kita dapat mengenal filsafat islam, akan tetapi juga karena pada mereka
benih-benih filsafat Islam dikembangkan.
Dalam makalah ini,
penulis hanya membatasi pemaparan mengenai Al-Ghazali, seorang ulama besar yang
pemikirannya sangat berpengaruh terhadap Islam dan filsafat Dunia Timur. Beliau
adalah seorang sufi sekaligus seorang teolog yang mendapat julukan Hujjah
al- Islam. Pemikiran Al-Ghazali begitu beragam dan
banyak, mulai dari pikiran beliau dalam bidang teologi (kalam),
tasawuf, dan filsafat. Dalam Hal ini akan dibahas tentang
filsafat Al-Ghazali yang berkaitan dengan biografi, hasil karya, pemikirannya
dan kritik terhadap filosof Muslim lainnya.
1.2RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Biografi dan Apa Saja Karya Al-Ghazali?
B. Bagaimana Pemikiran Filsafat Al-Ghazali?
C. Bagaimana Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Biografi dan Karya Al Ghazali
1. Biografi Al Ghazali
Beliau bernama Muhammad
bin Ahmad al-ghazali. Namanya kadang diucapkan Ghazzali (dua
Z), artinya tukang pintal benang, Karena pekerjaan ayah al-Ghazali ialah tukang
pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah Ghazali (satu
Z), diambil dari kata Ghazalah nama kampung kelahirannya.1
Al-Ghazali lahir pada
tahun 450 H/1058 M, di desa Thus, wilayah Khurasan, Iran. Dia adalah pemikir
ulung Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (hujjatul Islam).
Di masa mudanya ia
belajar di Nisyapur, juga di Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah satu
pusat ilmu pengetahuan yang penting di dunia Islam. Ia kemudian menjadi murid
Imam al-Haramain al-Juwaini, Guru Besar di Madrasah al-Nizamiah, Nisyapur. Diantara
mata pelajaran-mata pelajaran yang diberikan di madrasah ini ialah: Teologi,
Hukum Islam, Falsafat, Logika, Sufisme, dan Ilmu-ilmu Alam.2
Pada tahun 1091 M/ 484
H, al-Ghazali diangkat menjadi ustadz (dosen) pada Universitas Nizamiah,
Baghdad. Atas prestasinya yang kian meningkat, pada usia 34 tahun al-Ghazali
diangkat menjadi pimpinan (rektor) universitas tersebut.3
Hanya 4 tahun al-Ghazali
menjadi rektor di Universitas Nizamiah. Setelah itu ia
mulai mengalami krisis rohani, krisis keraguan yang meliputi akidah
dan semua jenis ma’rifat. Kemudian ia meninggalkan semua jabatan dan dunianya
untuk berkhalwat, ibadah dan i’tikaf selama hampir dua tahun di sebuah masjid
di Damaskus yang dilanjutkan ke Baitul Maqdis, menunaikan ibadah haji dan
berziarah ke makam Rasulullah saw. serta nabi Ibrahim as. Akhirnya, ia terlepas
dari krisis tersebut dengan jalan tasawuf.
Setelah melanglang buana
kurang lebih 10 tahun, atas desakan Fakhrul Muluk. Al-Ghazali kembali untuk
mengajar di Universitas Nizamiah lagi.
1.
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), hlm. 9.
2.
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1995), hlm. 41.
3.
Abidin Ibnu Rusn, Op. Cit.,hlm. 11.
Dalam usia 55 tahun al-Ghazali
meninggal dunia di Thus pada 14 Jumadil akhir 550 H, 19 Desember 1111 M dengan
dihadapi oleh saudara laki-lakinya Abu ahmad Mujjidduddin. Jenazahnya
dimakamkan di sebelah timur benteng di makam Thaberran bersisian dengan makam
penyair besar Firdausi.4
2. Karya-karya Al-Ghazali
Menurut Musthafa Galab,
Al-Ghazali telah meninggalkan tulisannya berupa buku dan karyanya sebanyak 228
kitab yang terdiri dari berbagai macam ilmu pengetahuan yang terkenal pada
masanya. Kitab-kitab tersebut diantaranya:
1. Di Bidang Filsafat
a. Maqashid al-Falasifat (The tendencies of the Philosophers: Tujuan Ilmu
Filsafat). Berisi mengenai ringkasan ilmu-ilmu filsafat, dijelaskan juga
ilmu-ilmu mantiq, fisika dan ilmu alam.
b. Tahafut al-falasifat (The distruction of the Philosophers: Kerancuan
pemikiran para filosof). Berisi pertentangan (kontradiksi) yang ada
dalam ajaran filsafat , serta dijelaskannya juga ketidaksesuaiannya dengan
akal.
c. Al-Ma’riful ‘Aqliyah (Ilmu Pengetahuan yang Rasional). Kitab ini mengungkap
asal muasal ilmu-ilmu yang rasional dan kemudianhakikat apa yang
dihasilkan serta ke arah mana tujuan pastinya.
2. Di bidang Agama
a. Ihya’ Ulumuddin (Revival of the Relegios Sceinces:
Menghidup-hidupkan Ilmu Agama).
b. Al-munqiz min al-Dhalal ( Terlepas dari kesesatan).
c. Minhaj ul’Abidin (the Path of the Devout: Jalan Mengabdi Tuhan).
3. Di bidang akhlak tasawuf
a. Miezan ul ‘Amal (neraca amal).
b. Kitab pendamping Ihya’ yang juga berisi akhlak dan tasawuf.
c. Kimiya us Da’adah (kimianya kebahagiaan). Berisi masalah etika yang
dibicarakan dari sudut pandang kepraktisannya dan hukum.
d. Kitabul Arba’ien (empat puluh prinsip agama). Berisi tentang soal-soal
yang berhubungan dengan akhlak tasawuf.
4.
Thawil Akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang:
CV Toha Putra, 1993), hlm. 63.
e. At-Tibrul Masbuk fi nashiehat el muluk(emas yang sudah ditatah untuk
menasehati para penguasa). Berisi tata karma yang berhubungan dengan
pemerintahan.
f. Al-Mustashfa fil ushul (keterangan yang sudaah dipilih mengenai soal
pokok-pokok ilmu hukum).
g. Mishkat ul Anwar (lampu yang bersinar banyak). Berisi tentang kaitan
akhlak dengan ilmu aqidah dan teologi.
h. Ayyuhal Walad (wahai anakku !). Berisi nasehat kepada penguasa yang
berhubungan dengan amal perbuatan dan tingkah polah mereka dalam kehidupan
sehari-hari.
i. Al-adab fi Dien(adab sopan keagamaan). Berisi perilaku manusia di
dalam hubungannya dengan etika hidup manusia.
j. Ar-Risalah al-Laduniyah (risalah tentang soal-soal batin). Berisi
hubungan akhlak dengan masalah-masalah kerohanian termasuk didalamnya soal
wahyu, kata hati dan sebagainya.
4. Di bidang kenegaraan
a. Mustazh hiri.
b. Sir ul Alamain (rahasia dua dunia yang berbeda).
c. Suluk us Sulthanah (cara menjalankan pemerintahan). Buku ini memberi
tahu pimpinan bagaimana seorang kepala Negara harus menjalankan
pemerintahannya demi kesejahteraan rakyatnya.
d. Nashihat et Muluk (nasehat untuk kepala-kepala negara).5
5. Di bidang Fiqh dan Ushul Fiqh
a. Asrar al-Hajj, dalam Fiqh al-Syafi’I, terbit di Mesir.
b. Al-Mustasfa fi Ilmi al-Ushul, terbit berulang kali di Kairo.
c. Al-Wajiz fi al-Furu’.6
5.
Ibid., hlm. 58-62
6.
M. Bahri Ghazali,Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali: Suatu
TinjauanPsikologik Pedagogik,(Yogyakarta:Pedoman Ilmu Jaya,1991),hl. 31
2.2 Pemikiran Filsafat Al-Ghazali
1. Metafisika
Untuk pertama kalinya
Al-Ghazali mempelajari karangan-karangan ahli filsafat terutama karangan Ibnu
Sina. Setelah mempelajari filsafat dengan seksama, ia mengambil kesimpulan
bahwa mempergunakan akal semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti
mempergunakan alat yang tidak mencukupi kebutuhan.
Al-Ghazali dalam Al-Munqidz
min al-Dhalal menjelaskan bahwa jika berbicara mengenai ketuhanan
(metafisika), maka disinilah terdapat sebagian besar kesalahan mereka (para
filosof) karena tidak dapat mengemukakan bukti-bukti menurut syarat-syarat yang
telah mereka tetapkan sendiri dalam ilmu logika.
Al-Ghazali meneliti
kerja para filsuf dengan metodenya yang rasional, yang mengandalkan akal untuk
memperoleh pengetahuan yang meyakinkan. Dia pun menekuni bidang filsafat secara
otodidak sampai menghasilkan beberapa karya yang mengangkatnya sebagai filsuf.
Tetapi hasil kajian ini mengantarkannya kepada kesimpulan bahwa metode rasional
para filsuf tidak bisa dipercaya untuk memberikan suatu pengetahuan yang
meyakinkan tentang hakikat sesuatu di bidang metafisika (ilahiyyat) dan
sebagian dari bidang fisika (thabi’iyat) yang berkenaan dengan akidah
Islam. Meskipun demikian, Al-Ghazali tetap memberikan kepercayaan terhadap
kesahihan filsafat-filsafat di bidang lain, seperti logika dan matematika.
Sebagaimana yang telah
dijelaskan di atas, bahwa ada pemikiran tentang filsafat metafisika yang
menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan Islam, dan karenanya para filosof
dinyatakan kafir. Hal ini akan lebih dijelaskan dalam bagian selanjutnya.
2. Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam
dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari iradat
(kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat tuhan
itulah yang diartikan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang
berganda, di satu pihak merupakan undang-undang, dan di lain pihak merupakan
zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak. Penyesuaian antara zarah-zarah yang
abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaanya yang
kita lihat ini.
Iradat tuhan adalah
mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakan itu
seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal (intelek) manusia,
terbatas dalam pengertian ruang dan waktu. Al-Ghazali menganggap bahwa tuhan
adalah transenden, tetapi kemauan iradatnya imanen di atas dunia ini, dan
merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.7
Pengikut Aristoteles,
menamakan suatu peristiwa sebagai hukum pasti sebab dan akibat (hukum
kausalitas), sedangkan Al-Ghazali seperti juga Al-Asy’ari berpendapat bahwa
suatu peristiwa itu adalah iradat Tuhan, dan Tuhan tetap bekuasa mutlak untuk
menyimpangkan dari kebiasaan-kebiasaan sebab dan akibat tersebut. Sebagai
contoh, kertas tidak mesti terbakar oleh api, air tidak mesti membasahi kain.
Semua ini hanya merupakan adat (kebiasaan) alam, bukan suatu kemestian.
Terjadinya segala sesuatu di dunia ini karena kekuasaan dan kehendak Allah
semata. Begitu juga dengan kasus tidak terbakarnya Nabi Ibrahim ketika dibakar
dengan api. Mereka menganggap hal itu tidak mungkin, kecuali dengan
menghilangkan sifat membakar dari api ituatau mengubah diri (zat) Nabi Ibrahim
menjadi suatu materi yang tidak bisa terbakar oleh api.8
3. Etika
Mengenai filsafat etika
Al-Ghazali secara sekaligus dapat kita lihat pada teori tasawufnya dalam
buku Ihya’ ‘Ulumuddin. Dengan kata lain, filsafat etika Al-Ghazali
adalah teori tasawufnya itu. Mengenai tujuan pokok dari etika Al-Ghazali kita
temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “Al-Takhalluq Bi Akhlaqihi ‘Ala
Thaqah al-Basyariyah, atau Al-Ishaf Bi Shifat al-Rahman ‘Ala Thaqah
al-Basyariyah”. Maksudnya adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru
perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, pemaaf, dan sifat-sifat
yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta
yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat (kebaikan)
bagi sekalian alam. Berbeda dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang
menganggap bahwa Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti,
hanya menunggu pendekatan diri dari manusia, dan menganggap materi sebagai
pangkal keburukan sama sekali.
[7] Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung:
CV ROSDA, 1988), hlm. 172.
[8] Sirajuddin
Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2004), hlm. 176.
Al-Ghazali sesuai dengan
prinsip Islam, mengakui bahwa kebaikan tersebar di mana-mana, juga dalam
materi. Hanya pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan
berlebihan.
Bagi Al-Ghazali, taswuf
bukanlah suatu hal yang berdiri sendiri terpisah dari syari’at, hal ini nampak
dalam isi ajaran yang termuat dalam kitab Ihya’nya yang merupakan
perpaduan harmonis antara fiqh, tasawuf dan ilmu kalam yang berarti kewajiban
agama haruslah dilaksanakan guna mencapai tingkat kesempurnaan. Dalam
melaksanakan haruslah dengan penuh rasa yakin dan pengertian tentang makna-makna
yang terkandung di dalamnya.9
2.3 Pandangan Al-Ghazali terhadap Filsafat
Di bidang filsafat
al-Ghazali memiliki perhatian yang sangat besar dan ia tercatat
sebagai pemikir yang banyak melibatkan diri pada segi itu. Ia belajar filsafat
kepada al-Juwaini selama tiga tahun. Sehingga al-Ghazali dianggap juga sebagai
salah seorang filosof muslim.10 Namun, dalam lapangan filsafat ketuhanan (metafisika) al-Ghazali
memandang para filosof sebagai ahl al-bid’at dan kafir seperti
apa yang ada dalam bukunyaTahafut al-Falasifat (kerancuan pemikiran
para filosof). Al-Ghazali menyalahkan filosof-filosof dalam pendapat-pendapat
berikut:
1. Tuhan tidak mempunyai sifat.
2. Tuhan mempunyai substansi basit (بسيط sederhana, simple)
dan tidak mempunyai mahiah ( ماهية hakekat, quiddity).
3. Tuhan tidak mengetahui juz’iat (جزئيات perincian, particulars).
4. Tuhan tidak dapat diberi sifat al-jins, (الجنسjenis, genus) dan al-fasl (الفصل differentia).
5. Planet-planet adalah binatang yang bergerak dengan kemauan.
6. Jiwa planet-planet mengetahui semua juz’iat.
7. Hukum alam tak dapat berubah.
8. Pembangkitan jasmani tidak ada.
9. Alam ini tidak bemula.
[9] M. Amin Abdullah, Studi Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), hlm.280.
Tiga dari kesepuluh
pendapat diatas, menurut Al-Ghazali membawa kepada kekufuran yaitu:
1. Alam kekal dalam arti tidak bermula.
2. Tuhan tidak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam.
3. Pembangkitan jasmani tidak ada.
Yang akan dijelaskan sebagai berikut:
1. Alam kekal (Qadimnya Alam)
Filosof-filosof
mengatakan bahwa alam ini qadim berdasarkan tiga argumen yaitu sebagai berikut:
a.
Mustahil timbulnya yang baharu dari yang qadim. Proposi ini berlaku bagi
sebabakibat, dengan arti, jika Allah qadim, maka terjadinya alam merupakan
suatu keniscayaan dan hal ini akan menjadi qadim kedua-duanya (Allah dan alam).
b. Keterdahuluan wujud Allah dari alam hanya
dari segi esensi (taqaddum zaty), sedangkan dari segi zaman (taqaddum
zamany) antara keduanya adalah sama, seperti keterdahuluan bilangan satu
dengan dua.
c. Alam sebelum wujudnya merupakan suatu yang
mungkin. Kemungkinan ini tidak ada awalnya, dengan arti selalu abadi.12 Sedangkan
menurut Al-Ghazali yang qadim hanyalah Allah dan yang selain Allah adalah hadis (baharu).
Allah dapat berbuat apapun tanpa ada yang menghalangi-Nya karena Allah
menciptakan alam sesuai dengan kekuasaan dan kehendak-Nya.
2. Tuhan tidak mengetahui perincian dari apa-apa yang terjadi di alam.
Para filosof Muslim,
menurut Al-Ghazali berpendapat bahwa Allah hanya mengetahui zat-Nya dan tidak
mengetahui yang selain-Nya (juz’iat) dengan alasan alam ini selalu
terjadi perubahan-perubahan, jika Allah mengetahui rincian perubahan tersebut,
hal itu akan membawa perubahan pada zat-Nya. Perubahan pada objek ilmu akan
membawa perubahan pada yang punya ilmu (bertambah atau berkurang). Ini mustahil
terjadi pada Allah.
Pendapat para filosof
itu merupakan kesalahan fatal. Menurut Al-Ghazali lebih lanjut, perubahan pada
objek ilmu tidak membawa perubahan pada ilmu. Karena ilmu adalah suatu
tambahan, atau pertalian dengan zat, artinya lain daripada zat. Sehingga jika
terjadi perubahan pada tambahan tersebut, maka zat Tuhan tetap dalam keadaannya
yang biasa, sebagaimana halnya kalau ada orang berdiri di sebelah kanan kita,
kemudian ia berpindah ke sebelah kiri kita, maka yang berubah sebenarnya dia,
bukan kita.13
3. Pembangkitan jasmani tidak ada.
Menurut para filosof
Muslim, yang akan dibangkitkan di akhirat nanti adalah rohani saja, sedangkan
jasmani akan hancur. Jadi yang akan merasakan kebahagiaan atau kepedihan adalah
rohani saja
Al-Ghazali dalam
menyanggah pendapat para filosof tersebut lebih banyak bersandar pada arti tekstual
Al-Qur’an, yang menurutnya tidak ada alasan untuk menolak terjadinya
kebahagiaan atau kesengsaraan fisik dan rohani secara bersamaan. Allah
Mahakuasa menciptakan segala sesuatu dan untuk itu tidaklah ada keraguan
sedikitpun Allah akan mengembalikan rohani pada jasmani di akhirat
nanti.
Sebenarnya dalam ajaran
agama Islam informasi kebangkitan akhirat ada yang disebutkan dengan jasmani
dan rohani dan ada pula yang disebutkan rohani saja. Para filosof Muslim lebih
menerima dalam bentuk rohani saja, sebab mereka dalam memahami nash lebih
cenderung pada arti metafora, dan kalau akhirat lawan dari dunia yang berbentuk
materi berarti akhirat bentuk rohani saja. Jadi, arti surga bagi mereka adalah
kesenangan bukan berbentuk jasmani (materi), sedangkan arti neraka (api yang
bernyala), bagi mereka adalah kesengsaraan.14
Sebenarnya antara
Al-Ghazali dengan para filosof Muslim hanya bertentangan dari segi pendekatan
dan pemaknaan serta penjabaran konsep saja, bukan esensi dari segala sesuatu,
artinya hakekatnya mereka mengakui apa-apa yang tersirat dalam sumber utama
(wahyu) sedang pemaknaan atau cara menterjemahkannya tergantung pada
manusia.Al-Ghazali pada dasarnya tidak ingin menjatuhkan para filosof Muslim,
melainkan mewaspadai jangan sampai pola fikir filosofik yang bersifat khusus
berkembang secara umum, karena orang awam belum tentu dapat memahaminya.
[13] Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1996), hlm. 149.
Oleh karena itu,
Al-Ghazali menurut Harun Nasution membagi tingkatan berfikir manusia menjadi
tiga macam:
1. Kaum awam, yang cara berfikirnya sederhana sekali.
2. Kaum pilihan (الخواص ,elect) yang
akalnya tajam dan berfikir secara mendalam.
3. Kaum menengkar (اهل الجدل).15
Dari klasifikasi
tersebut, dapat ditarik suatu garis horizontal bahwa Al-Ghazali menempatkan
para filosof pada kelompok kedua atau ketiga dengan pola berfikir mereka yang
khas. Berarti pemikiran filsafat harus dikembangkan di kalangan filosof. Hal
ini sejalan dengan ide para filosof muslim khususnya Al-Farabi yang
menginginkan agar filsafat tidak dibocorkan terhadap golongan awam, karena
tingkat berfikir mereka yang berbeda. Termasuk di dalamnya masalah metafisika
dan teologi yang tidak bisa dijelaskan dengan bahasa filsafat bagi orang awam.
Begitu pula sebaliknya, untuk berbicara dengan filosof maka harus dengan bahasa
filsafat. Al-Ghazali sendiri menurut Syekh Sulaiman Dunya dari al-Azhar, cairo
memberikan keterangan-keterangan dengan cara yang berlainan sesuai dengan
situasi yang dihadapinya. Inilah salah satu alasan munculnya tahafut
al-falasifat sebagai cara tersendiri dalam menghadapi para filosof
dengan bahasa filsafat. Dengan demikian Al-Ghazali tidaklah berbeda dengan
filosof, bahkan ia adalah filosof.
BAB III
KESIMPULAN
Hakikat ilmu menurut Al-Ghazali adalah
dihasilkannya salinan objek pada mental subjek sebagaimana realitas objek itu
sendiri, dinyatakan dalam bentuk proposisi berdasarkan metode ilmiah tertentu
untuk kemajuan dan kebahagiaan manusia.
Pemikiran filsafat Al-ghazali dapat dibagi 3 yaitu:
a. Metafisika yang berarti mempergunakan akal
semata-mata dalam soal ketuhanan adalah seperti mempergunakan alat yang tidak
mencukupi kebutuhan
b.
Iradat tuhan yang berarti Mengenai
kejadian alam dan dunia, Al-Ghazali berpendapat bahwa dunia itu berasal dari
iradat (kehendak) tuhan semat-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya.
Iradat tuhan itulah yang diartikan penciptaan.
c.
Etika yang berarti Mengenai filsafat etika Al-Ghazali secara sekaligus
dapat kita lihat pada teori tasawufnya, Maksudnya adalah agar manusia sejauh
kesanggupannya meniru perangai dan sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih,
pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan, jujur, sabar, ikhlas dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. 1996. Studi
Agama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Akhyar dasoeki, Thawil. 1993. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam.
Semarang: CV Toha Putra
Ghazali, M. Bahri. 1991. Konsep Ilmu
Menurut Al-Ghazali: Suatu Tinjauan Psikologik Pedagogik. Yogyakarta:
Pedoman Ilmu Jaya
Hanafi, Ahmad.1996. Pengantar
Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Ibnu Rusn, abidin. 1998. Pemikiran
Al-Ghazali Tentang Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Nasution, harun. 1995. Filsafat
dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Poerwantana, dkk. 1988. Seluk
Beluk Filsafat Islam. Bandung: CV ROSDA
Zar, Sirajuddin. 2004. Filsafat Islam:
Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
siiip mkasih
ReplyDeletekunjungi juga
cyber-dakhlan90.blogspot.com/
Terimakasih Gan, artikel Filsafat Imam Ghozali emang sangat keren.
ReplyDelete